Tuesday, June 29, 2010

Ekonomi politik lama dan baru (kontemporer)?

Persamaan dan perbedaan
Dalam teori ekonomi politik lama dan baru (kontemporer) menggambarkan adanya hubungan di antara ekonomi dan politik dalam suatu Negara. Baik ekonomi politik lama yang diusung oleh ekonom klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo, pendapat baru tentang ekonomi politik yang didasarkan pada teori ekonomi politik yang dikemukanan oleh Karl Marx. Negara dianggap mempunyai peran untuk memberikan respon untuk menggeser keseimbangan pasar. Adam Smith dan David Ricardo bisa dikatakan sebagai tokoh teori ekonomi klasik yang menjadi dasar pendekatan teori ekonomi politik lama. Teori ekonomi politik lama menyatakan bahwa pasar memiliki kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri dalam artian kuat (strong sense) dimana pandangan seperti ini seringkali dijadikan dasar dalam menjalankan kebijakan pasar bebas. Bahkan para ekonom klasik ini adalah yang pertama kalinya memandang perekonomian sebagai sebuah sistem yang secara prinsip terpisah dari politik dan rumah tangga. Segala bentuk investasi menurut mereka harus ada hasil yang nyata (return of investment). Siapapun bahkan negara dalam melakukan investasi harus berpikir dulu berapa yang akan dihasilkan dari investasi yang akan ditanamkan. Return of investment ini telah menjadi pijakan/dasar bertindak dalam berinvestasi. Ekonom klasik tetap menganggap politik sebagai sesuatu yang penting, namun tindakan-tindakan yang terkait dengan politik jangan terus-menerus mengintervensi pasar, biarkan pasar berjalan apa adanya sehingga keuntungan akan diperoleh dari pasar yang bekerja secara alami ini. Apabila mekanisme pasar bekerja secara alami atau dengan kata lain perekonomian diserahkan kepada pasar tanpa intervensi politik maka akan berdampak pada tumbuh dan berkembangnya perekonomian secara makro. Teori klasik berpendapat bahwa peran pemerintah sebenarnya terbatas pada masalah penegakan hukum, menjaga keamanan dan pembangunan infrastruktur.
Beberapa ekonom, penganut aliran klasik, memberi argumen tentang konsep pasar yang mengatur dirinya sendiri, karena mereka beranggapan bahwa sistem pasar adalah sebuah realita yang akan tercipta dengan sendirinya tanpa campur tangan pemerintah, dimana pasar memiliki hubungan dengan negara tapi pasar bukan institusi bawahan dari Negara. Campur tangan negara baru diperlukan manakala tidak ditemukan adanya keseimbangan atau kesempurnaan pasar. Pasar yang sempurna ditentukan oleh permintaan dan penawaran itu sendiri. Penganut aliran klasik juga menyatakan bahwa pasar memiliki kemampuan untuk bekerja sendiri dalam arti yang kuat. Inilah yang sering kali disebut dengan ekonomi liberal dengan pasar bebasnya. Pandangan teori klasik ini telah membuat istilah ekonomi politik sendiri menjadi kurang jelas pengertiannya. Teori ini mengajukan pokok pikiran bahwa ekonomi tidak bersifat politik.
Di lain pihak, ekonomi politik baru, berpijak pada teori Karl Mark, menyatakan bahwa ekonomi selalu bersifat politik. Menurut aliran ini bahwa Marx pada dasarnya mengusung proyek eknomi klasik dalam artian bahwa Marx memandang perekonomian kapitalis sebagai suatu yang pada dasarnya tidak memiliki sifat politik. Sebaliknya Marx justru berusaha untuk menunjukkan bahwa faktor-faktor politik itu disebabkan oleh dinamika dari proses ekonomi kapitalis dan berusaha menjelaskan bagaimana proses itu mewarnai pertarungan-pertarungan politik berskala besar dalam sejarah. Untuk membuktikan bahwa cara kerja dari perekonomian kapitalis membawa dampak politik, Marx mengajukan kritik terhadap pandangan klasik tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri. Karl Marx juga melakukan kritik ini bukan dengan tujuan untuk membenarkan konsep kapitalisme yang dikendalikan negara, melainkan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama. Kegagalan pasar didefinisikan dengan menggunakan konsep pilihan pribadi dan penggunaan sumber daya secara efisien. Ekonomi adalah transaksi-transaksi swasta yang dilakukan untuk memaksimalkan kegunaan yang didapatkan individu sementara “Politik” adalah penggunaan kewenangan publik untuk mencapai tujuan yang sama juga, demikian pemikiran kaum neo klasik.

”Pembangunan” contoh empiris dari ekonomi politik baru.
Kapitalisme, menurut Gie (1997), didefiniskan sebagai kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki barang sebanyak-banyaknya baik untuk keperluan pribadi maupun sebagai modal produksi. Sementara Marx mendefiniskan kapitalisme sebagai suatu system ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya vital dan menggunakannnya untuk keuntungan maksimal (Sanderson, 1993). Keuntungan setingginya menyebabkan eksploitasi buruh murah, karena tenaga kerja adalah faktor produksi yang paling mudah direkayasa dibandingkan modal dan tanah. Dampak utama kapitalisme adalah terbentuknya kelas majikan dan buruh, serta eksploitasi dan ketimpangan di antaranya. Kapitalisme walau membawa berbagai kemajuan, namun juga membawa banyak hal negatif, misalnya egoisme, keserakahan, dan keinginan akan nikmat berlebihlebihan atau paham hedonisme (Sindhunata, 1997). Kapitalisme juga menjebak orang ke indiviudalisme, komersialisme, dan liberalisasi yangpahamnya berkembang secara bersamaan (Mubyarto, 1997). Secara ringkas Schumacher (1987) menyimpulkan, kapitalisme hanya mampu menguntungkan sebagian kecil orang namun menyengsarakan sebagian besarnya. Pesimisme terhadap kemampuan kapitalisme terhadap kesejahteraan manusia sudah banyak diungkapkan para ahli yang telah merasakan dampaknya secara luas.
Kapitalisme yang pada awalnya hanyalah perubahan cara produksi dari produksi untuk dipakai ke produksi untuk dijual, telah merambah jauh menjadi dibolehkannya pemilikan barang sebanyak-banyaknya, bersama-sama juga mengembangkan individualisme, komersialisme, liberalisasi, dan pasar bebas. Kapitalisme tidak hanya merubah cara-cara produksi atau sistem ekonomi saja, namun bahkan memasuki segala aspek kehidupan dan pranata dalam kehidupan masyarakat, dari hubungan antar negara, bahkan sampai ke tingkat antar individu. Sehingga itulah, kita mengenal tidak hanya perusahaan-perusahaan kapitalis, tapi juga struktur masyarakat dan bentuk negara. Negara dipandang mempunyai peran untuk memberikan respon. Pendekatan-pendekatan yang berpusat pada negara menggeser keseimbangan antara pasar dengan negara menjadi lebih condong ke negara, dimana nengara dianggap bebas untuk menjalankan agendanya sendiri demi kepentingan masyarakat. Usman (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada saat ini tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Persolan politik dan ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional. Keterkaitan antar negara menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah ekonomi atau politik yang dihadapi oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya dan permasalahan tersebut akan berkembang menjadi masalah internasional.
Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia atau masyarakat suatu bangsa. Ini berarti bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari suatu keadaan atau kondisi kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehidupan yang lebih baik dalam rangka mencapai tujuan nasional suatu bangsa (Siagian, 1985). Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa perubahan di sektor pembangunan ekonomi. proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Pemerintah memiliki posisi strategis baik sebagai pelaksana kebijakan pembangunan, konsumen sekaligus produsen dan investor. Pemerintah juga memiliki peran sebagai pengelola perusahaan negara yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya dan pemberi pelayanan publik terutama yang menyangkut “hajat hidup masyarakat” serta sebagai regulator diantara komponen masyarakat.

Bahan bacaan:
Gie, Kwik Kian. 1997. Kapitalisme di Inodnesia. Kompas, 21 April 1997.
Mubyarto. 1997. Kapitalisme, UUD 45, dan Kwik Kian Gie. Kompas, 7 Mei 1997.
Schumacher, E.F. 1987. Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil. LP3ES, Jakarta
Sindhunata. 1997. Tony Blair, Kwik Kian Gie, dan Mubyarto. Kompas, 24 Mei 1997.
Usman, Sunyoto. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Tuesday, June 22, 2010

Pedagang Kaki Lima dalam Program Pembangunan Perkotaan

Pendahuluan
Pembangunan merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas kehidupan bangsa secara bertahap. Pembangunan dapat juga diartikan sebagai suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat suatu bangsa. Ini berarti bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari suatu keadaan atau kondisi kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehidupan yang lebih baikdalam rangka mencapai tujuan nasional suatu bangsa (Tjokroamidjojo & Mustopadidjaya, 1988; Siagian, 1985).
Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa perubahan di sektor pembangunan ekonomi. Sejarah telah mencatat pertumbuhan ekonomi yang pesat secara terus menerus selama lebih-kurang 32 tahun di masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kemajuan telah dicapai dengan metode pembangunan nasional yang lebih menitik beratkan pada tujuan pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi pada skala makro dan mikro. Peningkatan pendapatan per kapita , penurunan jumlah kemiskinan, jumlah pengangguran dan perbaikan kualitas hidup manusia secara rata-rata telah berhasil dicapai pada masa itu. Tanpa disadari pemerintah kita telah melakukan pembangunan yang rapuh, atau tanpa pondasi yang kuat. Proses percepatan pembangunan yang terlalu menitik-beratkan pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dimbangi dengan pemerataan pendapatan untuk membangun ekonomi rakyat, maka misi pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat terabaikan sehingga basis ekonomi rakyat (nasional) mengalami kegoncangan bahkan rapuh.
Kerapuhan basis ekonomi rakyat mulai nampak pada saat bangsa Indonesia memasuki era tinggal landas yang ditandai dengan munculnya krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 telah menjadi krisis multidimensional dan telah menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Kondisi ini telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bangsa Indonesia. Krisis multidimensional ini turut meningkatkan jumlah penduduk miskin di Negara Indonesia tercinta ini. Pembangunan nasional yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi selama ini ternyata kurang mampu untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan-permasalahan pembangunan nasional yang berskala multidimensional. Krisis ini sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulai dengan memasuki Era Reformasi.
Dampak ekonomi dan moneter yang nyata adalah terjadinya kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riil yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran dari perusahan-perusahan swasta nasional. Hal ini berujung pada munculnya pengangguran di kota-kota besar. Beberapa sumber mengklaim bahwa jumlah pengangguran bertambah berlipat-lipat dalam waktu yang demikian cepat. Akhirnya mereka yang telah kehilangan pekerjaan ini melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal. Salah satu sektor informal yang banyak diminati para pengangguran (selain yang sudah lama bekerja di sektor ini) yaitu pedagang kaki lima (PKL). Kelompok PKL sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tak terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Pedagang Kaki Lima ini timbul juga dari adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata di Indonesia. PKL ini juga timbul dari akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab didalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Jadi sangat wajar sekali fenomena PKL ini merupakan imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia . Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanyanya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus berdagang di kaki lima. Mengapa pilihannya adalah pedagang kaki lima? Karena pekerjaan ini sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu modalnya tidak besar, tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, dan mudah untuk di kerjakan. Fakta lain bahwa tumbuhnya sektor informal karena kondisi sektor riil Indonesia yang tidak kondusif sehingga menyebabkan banyak pabrik yang tutup dan menimbulkan pengangguran.
Timbulnya pedagang kaki lima ini juga tidak terlepas dari empat dimensi yang disampaikan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) yaitu dimensi politik, kemiskinan timbul karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengakses sumberdaya, termasuk akses informasi. Masyarakat tidak memiliki wadah organisasi yang dapat dijadikan sarana memperjuangkan aspirasinya, sehingga mereka tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Dari sudut dimensi sosial diyakini bahwa masyarakat miskin sering tidak terintegrasi dalam institusi sosial yang ada, sehingga menimbulkan rendahnya kualitas manusia dan etos kerja mereka. Dari dimensi ekonomi, kemiskinan timbul karena rendahnya penghasilan sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka secara layak. Dari dimensi aset, kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari rendahnya kepemilikan atas sumberdaya, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia, peralatan kerja, modal, dan sebagainya (Depkimpraswil, 2002).

Posisi Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima (PKL) sendiri memiliki banyak makna, ada yang mengatakan term “pedagang kaki lima” berasal dari orang yang berjualan dengan menggelar barang dagangannya dengan bangku/meja yang berkaki empat kemudian jika ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya maka menjadi berkaki lima sehingga timbullah julukan pedagang kaki lima. Tak hanya itu saja, ada juga yang memaknai PKL sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan yang lebarnya lima kaki (5feet ) dari trotoar atau tepi jalan. Ada pula yang memaknai PKL dengan orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dan dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian. Tapi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan
Pedagang kaki lima sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Sejalan dengan uraian di atas, dalam penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha kecil (termasuk pedagang kaki lima) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperanan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Pedagang kaki lima ini ribuan jumlahnya. Bahkan mungkin jika dihitung keseluruhan jumlah PKL ditambah buruh tani dan kuli kasar bisa jadi ratusan ribu. Supplier maupun costumer mereka tentu bukanlah perusahaan raksasa, melainkan sesama orang-orang kecil. Jika dihitung lagi dengan banyaknya warung-warung dan toko-toko kecil, baik yang menjual makanan ataupun barang kelontong, dan dihitung dengan orang-orang yang tergantung kepadanya, bisa menjadi puluhan juta. Merekalah, yang secara de facto menyokong kehidupan sejumlah besar rakyat Indonesia di tengah prahara ekonomi. Pertanyaannya adalah: jika memang demikian kenyataannya, mengapa kelas kaki lima ini masih termasuk kelas yang terpinggirkan? Bahkan, sudah menjadi berita sehari-hari bahwa mereka adalah pengganggu ketertiban yang harus segera digusur. Para pemilik toko-toko dan warung-warung kecil, para juragan kelas teri yang menjalankan usahanya selama bertahun-tahun dengan kerja keras, kini harus menghadapi jaringan retail yang dilengkapi dengan manajemen dan sistem logistik yang bisa menurunkan harga serendah-rendahnya. Barangkali jawabannya bisa dilihat dari ketimpangan akses baik modal, pasar, maupun informasi yang didapatkan oleh pemain dalam segmen kaki lima, buruh, dan usaha kecil ini. Kekurangpercayaan dari perbankan, konsumen, supplier, bahkan dari pemerintah sendiri terlihat jelas di sini. Kelemahan penegakan hukum sebenarnya sangat merugikan semua pemain ekonomi termasuk kelas kaki lima ini karena menghancurkan kepercayaan.
Lepas dari beberapa keunggulan yang dimiliki kelompok usaha kecil, khususnya pedagang kaki lima sebagaimana dikemukakan di atas, banyak pula kekuarangannya. Maraknya PKL di wilayah kota-kota di Indonesia berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan di sekitar PKL berada. Lokasi berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara motor/mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya kebersihan sehingga keindahan di lingkunganpun sulit diwujudkan. Mutu barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya tidak merugikan konsumen.
Pemerataan program pembangunan
Berpijak dari kenyataan bahwa keberadaan pedagang kaki lima atau sektor informal yang masih kurang mendapat perhatian semestinya, satu hal yang pasti masyarakat miskin harus ditolong. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 secara ekplisit mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Karena itu, pemberian pelayanan sosial dasar kepada masyarakat miskin perlu mendapatkan perhatian yang serius, dan perlu didukung keterlibatan aktif para stakeholder di tiap daerah serta pemerintah pusat. Upaya penanggulangan kemiskinan, menurut Kasryno dan Suryana (1996), dilakukan melalui peningkatan pendapatan dan penciptaan kesempatan kerja produktif yang mampu meningkatkan produktivitas kerja dan sumberdaya. Inti strategi program penanggulangan kemiskinan adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penggunaan sumberdaya secara optimal. Lebih lanjut Kasryno dan Suryana (1996) menjelaskan, untuk mencapai kelompok masyarakat miskin secara lebih efektif, program-program tersebut pada intinya adalah: (1) memberikan asesibilitas yang lebih tinggi terhadap sumberdaya produksi dan paket teknologi yang lebih tepat; (2) merangsang terciptanya kegiatan yang menghasilkan pendapatan di lokasi setempat; dan (3) meningkatkan efektivitas dan keterjangkauan kredit pedesaan.
Menurut Hikmat (2001), tujuan akhir strategi pembangunan sosial adalah memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi dan harapan individu dan kolektif yang berpijak dalam konsep tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku. Tujuan objektif dalam strategi pembangunan sosial adalah memberantas kemiskinan absolut, realisasi keadilan yang distributif, dan peningkatan pertisipasi masyarakat secara nyata. Dengan demikian penanggulangan masalah kemiskinan ini pada dasarnya lebih kepada pemecahan permasalahan sosial daripada ekonomi (Pakpahan dalam Sajogyo, 1996). Sebagai permasalahan sosial, penanggulangan terhadap kemiskinan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama dari para pelaku ekonomi swasta dan kelompok sasaran masyarakat miskin. Program pengentasan kemiskinan akan efektif jika disusun dan dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat sendiri. Pemerintah, swasta serta pihak lainnya bisa memberikan arahan dan dukungan, namun yang lebih penting adalah menciptakan iklim usaha yang mendukung (Sumodiningrat, 1998). Salah satu upaya membangkitkan peran serta masyarakat dalam berbagai progam pembangunan adalah dengan pendekatan kelompok. baik kelompok yang sudah ada dalam masyarakat maupun membentuk kelompok baru. Dengan pendekatan kelompok akan terjadi komunikasi yang efektif antara penyelenggara program dengan masyarakat sebagai anggota kelompok sasaran, sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai (Ismawan, 1993).
Pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan pendekatan kelompok mempunyai kelebihan dibandingkan dengan perorangan. Pendekatan kelompok menurut Vitayala (1986), mempercepat proses adopsi atau alih teknologi, hal ini disebabkan adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu kelompok dapat berfungsi sebagai media informasi dan pelayanan yang efektif dalam memenuhi kebutuhan kelompok maupun anggotanya ( Suyatna, 1982). Sebagai sebuah konsep pembangunan – pemberdayaan masyarakat harus diaplikasikan dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan ini sendiri harus ditujukan pada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat maju dan modern serta masyarakat tradisional yang tertinggal.
Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Dimata pemerintah citra negatif tersebut telah mendogma. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus besikap arif dalam menentukan kebijakan. Permasalahan PKL menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dillema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economiy.
Karenanya prioritas pemerintah seharusnya mengucurkan segala investasi dan konsentrasi untuk memulihkan kepercayaan oleh dan kepada para pelaku pasar termasuk kelas kaki lima ini. Bukan hanya untuk kelas kapitalis besar – yang walaupun tentu saja berhak untuk ikut bermain dalam perekonomian nasional – tetapi juga untuk pemain lain. Pungli, “uang keamanan”, kebiasaan mencari backing aparat, tawar menawar dengan petugas pajak, dan lain-lain tindakan yang menghancurkan kepercayaan harus segera dihancurkan. Caranya antara lain dengan mengevaluasi secara radikal mekanisme perencanaan dan pemberian izin kepada para pelaku ekonomi kecil. Sebuah kota harus memiliki tempat-tempat khusus di mana pedagang kaki lima dan pedagang kecil bisa melakukan usaha, sama persis dengan bagaimana tempat untuk mall dan pasar swalayan serta layanan retail diberikan oleh pemerintah. Kredit mikro yang dikucurkan oleh perbankan harus diperbanyak dengan meningkatkan kepercayaan dalam masyarakat yang telah disebutkan di atas. Untuk melakukan itu pemerintah harus menyediakan investasi yang cukup besar.
Sesungguhnya para pedagang kaki lima dan masyarakat termarjinalkan lainnya seperti kaum buruh kasar, abang bakso dan abang becak, dan tukang gali jalan sekalipun adalah juga stakeholder dari kontrak sosial Negara Republik Indonesia. Ketika mereka diberi kepercayaan bahwa Negara telah melakukan sesuatu kepada kehidupan mereka, mereka akan memberikan juga kepercayaan kepada Negara. Mereka juga akan membayar pajak atau retribusi kepada negara sebagai ganti dari uang kontribusi gelap yang harus dibayarkan ke preman ataupun petugas (yang nyata tapi tidak dapat dibuktikan itu), maka negara atau pemerintah daerah mendapat potensi pemasukan yang lebih tinggi. Bebas pungli dan aparat yang terjamin jujur adalah kunci keberhasilannya. Pedagang kaki lima dan kecil harus memiliki ambisi untuk menjadi besar. Kemungkinan untuk menjadi besar harus didukung pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan sama dengan bagaimana pemerintah memberikan berbagai kemudahan untuk masuknya investasi asing ke Indonesia yang sebagian besar hanya menguntungkan investor-investor besar. Usaha para pemodal besar ini ditopang oleh usaha menengah dan usaha menengah ditopang oleh usaha kecil. Penciptaan lapangan kerja tidak boleh semata-mata dilakukan dengan memasukkan sebanyak-banyaknya investasi asing, karena tentu saja pihak asing tidak berkepentingan terhadap peningkatan usaha dan kesejahteraan kalangan kecil. Investasi asing tentu sangat disambut, akan tetapi struktur ekonomi yang kuat di mana usaha besar, menengah, dan kecil saling berkaitan, harus menjadi modal utama pembangunan kemakmuran bangsa.

Kota untuk Kaki Lima
Kota sebagai tempat hidup manusia hendaknya merupakan suatu lingkungan yang sesuai dengan hakekat manusia itu sendiri. Dengan keinginan untuk dapat menyertakan masyarakat dalam menciptakan suasana Kaki Lima yang menyenangkan. Bukan sekedar menjadi tempat yang hanya berisi benda mati dan hasil teknologi pembangunan saja. Harus kita simak dengan seksama, bahwa kegiatan manusia pada pedagang Kaki Lima hendaknya dipandang sebagai bagian dari rangkaian kehidupan kota yang tumbuh secara alamiah. Oleh karena itu, kehadirannya perlu diberi tempat sebagai salah satu unsur kota secara keseluruhan. Kaki Lima mempunyai fungsi sebagai tempat terjadinya kehidupan yang mempunyai nilai ekonomis serta mempunyai fungsi sosial dapat merupakan salah satu media bagi pembentukan suasana kehidupan kota secara hakiki. Sebagai unsur yang menempati kota, Kaki Lima perlu adanya bimbingan agar kadar manusiawinya tinggi serta mampu menjadikan suasana keindahan tersendiri. Akhirnya, pemerintah kota, penentu kebijakan maupun masyarakat kota, perlu melihat kembali ke belakang dengan satu sentuhan langkah baru di dalam menentukan penataan kotanya, maupun pengelolan ekonomi sosial warganya agar dapat tercipta sebuah kota yang mempunyai wajah dan menjadi milik kita semua.
Strategi pengembangan perkotaan bermasalah karena dilepaskan begitu saja kepada mekanisme pasar bebas yang berideologi neoliberalis. Padahal, pasar hanya berorientasi pada kepentingan kelompok kuat, terutama pemilik modal dan investor, sedangkan hajat bersama seluruh warga malah terabaikan. Akibatnya, kota tumbuh secara instan, tidak rasional, dan tak memiliki visi dalam menghadapi globalisasi. Kebijakan pengembangan kota nyaris dikungkungi kepentingan elite semata, yaitu pemerintah dan pemodal. Dan warga tidak pernah dilibatkan untuk menentukan apa, di mana, kapan, dan untuk apa fasilitas dibangun di kota itu. Warga pun tercecer, kota kehilangan partisipasi mereka, dan terancam ditinggalkan penduduk yang berkualitas. Contoh konkret kebijakan yang tidak menenggang warga adalah kota tidak berniat menyediakan ruang publik bagi warga. Setiap ruang diperebutkan antarkelompok. Padahal, konsep kota modern memperkenalkan ruang privat dan ruang publik, yang merupakan milik bersama yang penggunaannya ditentukan secara bersama. Ruang publik yang terbuka menjadi sarana untuk menyemai tenggang rasa, toleransi, serta menghidupkan sisi keberadaban manusia.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL), yang istilah kerennya street hawker atau street trader, tak ubahnya seperti sekeping mata uang yang memiliki dua sisi. Jika tidak ditangani dengan baik, PKL kerap menjadi masalah di tengah kehidupan urban. Kemacetan dan kekumuhan menjadi dua penanda keberadaan mereka. Namun, jika diberdayakan dengan optimal, PKL justru mampu menggairahkan ekonomi sebuah kota. Pasalnya, PKL merupakan aset kota. Bahkan, bukan tidak mungkin, PKL menjadi ikon dan daya tarik sebuah kota. Itu bisa didapat jika landasan konsep penanganan yang diterapkan pemerintah tak melulu penertiban, tetapi juga pemberdayaan. PKL, bangunan tanpa izin, izin gangguan (HO), reklame, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, kini telah menjadi fenomena sosial di setiap kota besar. Bahkan, realitas tersebut dapat dikatakan sebagai artefak kota yang tercipta untuk mengisi ruang-ruang "kosong" yang ada. Maka, terasa aneh dan janggal jika kota tidak menyediakan ikon-ikon budaya yang direpresentasikan dalam fenomena perkotaan ini. Menurut beberapa pakar sosial, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global. Menurut dia, kapitalisme telah menjadikan negara ketiga sebagai medan pasar yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang marketable. Berdirinya pusat perbelanjaan-salah satunya-merupakan upaya menyedot pasar yang dimiliki oleh pedagang lokal. Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya, yang pada akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki oleh kaum pinggiran. Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini mengakibatkan ekonomi masyarakat kota linier dan stabil.
Selain itu, seperti kritik Karl Marx, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru perkotaan. Dari situsai kemiskinan ini muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota. Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran) menjadi konsekuensi logisnya.
Seorang pakar tata kota dari ITS Surabaya menyatakan bahwa penanganan dan pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan baik dan benar akan dapat memecahkan 10 persen permasalahan kemiskinan di perkotaan. Persoalannya hingga kini dikotomi tentang PKL dengan Pemerintah Kota (Pemkot) untuk mencari titik temu agar penanganan dan pengelolaan PKL berjalan baik masih saja terjadi. Apa pun yang akan dilakukan oleh Pemkot untuk mencari jalan keluar terbaik dalam menata PKL tidak akan bisa berjalan sempurna manakala dikotomi tentang PKL masih terjadi. Harusnya Pemkot mau mengubah paradigma tentang PKL yang selama ini dianggap membuat kumuh dan sulit diatur. Saatnya pandangan itu diubah, PKL itu merupakan potensi kota yang harus dikembangkan secara bersama-sama, tidak perlu diperangi demikian juga PKL tidak perlu melawan atau memerangi Pemkot. Perlunya memperhatikan faktor budaya didalam menata PKL. Ada budaya malas di masyarakat kita yang menyebabkan persoalan PKL menjadi berlarut-larut, tidak bertemu jalan keluar. Budaya malas itu bukan hanya pada PKL yang enggan memelihara ketertiban dan kebersihan di lokasi mereka tapi juga para birokrasi yang juga malas, tidak mau memberi peringatan atau melakukan tindakan ketika sebuah lokasi masih dihuni oleh satu-dua PKL. Kalau sudah banyak dan mengundang masalah baru ditindak. Faktanya di masyarakat muncul berbagai jenis dan model kewirausahawan dan wirausahwan. Untuk wirausahawan bermodal kecil, sebagian besar timbul bukan karena fasilitas pemerintah, melainkan wirausahawan sejati. Fenomena suku Madura di Kalimantan, suku Bugis di Irian Jaya, suku Minangkabau di seluruh daerah Nusantara. Dalam pemberdayaan penanganan PKL, tentu dilakukan secara konprehensip, dengan memperhatikan secara menyeluruh lingkup persoalan dihadapi PKL. Seperti tempat usaha untuk menciptakan iklim usaha kompetitif dan ketenangan berusaha, permodalan, pembinaan dan pengembangan manajemen usaha, pendidikan dan pelatihan, advokasi social dan sebagainya
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Praktik perencanaan kota di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia, menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal.Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal, termasuk PKL, adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.

Penutup
Usaha kecil di samping dari segi jumlahnya yang banyak, tingkat pendidikannya pun relatif rendah. Sebagian besar (90,6%) para pengusaha kecil berpendidikan SD, 9,3% sampai tamat SMA dan hanya 0,1% berpendidikan Perguruan Tinggi., Rendahnya kualitas pendidikan para pengusaha kecil ini berakibat pada adanya beberapa permasalahan yang dihadapi usaha kecil dalam menjalankan usahanya. Sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah memaikan peran sebagai pelaku shadow economy. Nasib PKL perlu diberdayakan guna memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah wujud kreatifitas masyarakat yang kurang mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan arahan pada mereka, sehingga PKL dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat yang lainnya. Melalui peraturan daerah yang jelas dan akuntabel maka permasalahan sosial seperti PKL dapat dihindarkan. Dengan adanya ruang partisipasi yang dibuka seluas-luasnya dan dengan adanya hubungan dialogis yang baik antara pemerintah-masyarakat-dan sektor swasta, maka akan menimbulkan sinergi yang baik dalam menghasilkan ataupun melaksanakan sebuah kebijakan publik. Tidak terkecuali dalam menyelesaikan permasalahan pedagang kaki lima.

Monday, June 21, 2010

Dunia Pendidikan kita, mau kemanakah?

Pendahuluan
Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Tapi apa sebenarnya pengertian pendidikan itu sendiri sehingga berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara ini. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Sementara itu, dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan mempunyai pengertian sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Kualitas pendidikan
Harus diakui bahwa dalam implementasinya program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah bagi kualitas pendidikan nasional yang ada sekarang masih jauh dari harapan.Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama. Pendidikan kita udah dijadikan lahan untuk berbisnis dengan mempertaruhakan masa depan bangsa. Semua instansi terkait dan masyarakat hendaknya jangan menutup mata terhadap fenomena seputar pendidikan. dan yang penting tindakakan tegas tidak hanya komentar-komentar yang menyesatkan
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’
Sesuai dengan amanah UUD ’45 (hasil amandemen) pasal 31 bahwa Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Dengan amanat tersebut pemerintah atau negara berkewajiban untuk memberikan dan menyelenggarakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan ini diselenggarakan dalam rangka mendidik dan mencerdaskan rakyat agar dengan pendidikan yang telah ditempuhnya bisa digunakan untuk mencari dan mewujudkan taraf kehidupan yang layak, makmur dan sejahtera. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, pemerintah pusat dan daerah sebenarnya sudah sepakat untuk membiayai perbaikan sekolah rusak dengan besar 50 : 50. Dengan kesepakatan ini, seharusnya perbaikan sekolah rusak tetap bisa selesai paling lama akhir tahun depan.
Kondisi sekolah yang sudah tidak memungkinkan tersebut tetap digunakan karena bagaimanapun juga pendidikan harus tetap berjalan. Hal ini tentunya mengurangi konsentrasi para murid dan guru yang melakukan kegiatan belajar mengajar pada sekolah tersebut. Bahkan tidak sedikit yang menggunakan rumah warga sebagai tempat menimba ilmu bagi para calon pemimpin bangsa, karena kondisi sekolahnya yang sudah tidak dapat digunakan lagi.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD ) menetapkan Finlandia sebagai Peringkat 1 Dunia dalam bidang kualitas pendidikannya. Tes tersebut dikenal dengan nama PISA, yang bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan keunggulannya dalam pendidikan untuk anak-anak lemah mental (PLB). Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi Top No. 1 Dunia? Dalam masalah anggaran pendidikan, Finlandia memang menganggarkan biaya yang sedikit lebih tinggi dibandingk an rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya. Finlandia tidaklah menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingk an dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam permingguya.
Kunci keberhasilan Negara ini terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan terbaik dari sekolah menengah biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk ke sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingannya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran! Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula.

Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan serta pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. "Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan siswa, bagaimana cara untuk lolos ujian," ungkap seorang guru di Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekerja dengan lebih bebas. Guru tidak harus selalu mengontrol mereka. Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. "Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Disini guru tidak mengajar dengan metode ceramah," Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah. "Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan," sambungnya. Siswa yang lambat akan mendapatkan dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya , bawa buku, dan lain sebagainya. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut malah akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. "Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa," kata seorang guru, "maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya!" Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab.(dari berbagai referensi)

Monday, June 14, 2010

Mewiraswatakan pemerintah, mungkinkah?

Kualitas layanan publik akan terus menjadi perhatian semua pihak. Pemerintah sebagai penyedia layanan publik dituntut untuk terus berbenah meningkatkan kualitas. Tuntutan masyarakat terhadap layanan publik semakin meningkat seiring tingginya kebutuhan akan layanan ini. Masyarakat menuntut instansi penyedia layanan untuk meningkatkan kauntitas dan kualitasnya, di sisi lain instansi penyedia layanan berkilah bahwa birokrasilah yang menghambat mereka untuk bisa memenuhi semua tuntutan itu. Hal Ini sama artinya instansi-instansi tersebut menyalahkan pemerintah sebagai pemilik saham yang tidak memberikan keleluasaan kepada mereka untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Tentunya saja kebebasan atau keleluasaan di sini berupa peraturan yang memberikan mereka ruang gerak yang lebih elastis. Banyaknya tuntutan dari berbagai instansi/satuan kerja (satker) yang selama ini berperan menyediakan semi barang dan /atau jasa publik seperti rumah sakit dan perguruan tinggi negeri yang ingin menjadi lembaga otonom dalam mengelola bisnis mereka. Tuntutan ini seiring dengan berbagai pendapat yang menyatakan bahwa kebijkan publik yang ada dapat menjadi salah satu faktor penghambat atupun pendukung peningkatan kualitas layanan publik.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini pelayanan sebagian besar rumah sakit plat merah masih kurang memuaskan kalau tidak mau dikatakan jelek. Sebagai institusi pemerintah yang punya tugas menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat, tanpa kecuali, semua yang butuh harus mendapat layanan. Kebanyakan dari kita paling tidak pernah merasakan layanan rumah sakit meski hanya sekedar berobat jalan, melakukan medical chek up ataupun hanya menjenguk kerabat yang sedang menjalani rawat inap. Dapat dikatakan hampir semua lapisan masyarakat membutuhkan jasa instansi ini. Kalo ada cerita tentang rumah sakit negeri pasti kebanyakan tentang kekurangannya saja, mulai dari porses pendaftaran sampai sikap dokternya. Sebaliknya kalo rumah sakit swasta hampir pasti orang bilang banyak bagusnya. Tetapi apa benar rumah sakit swasta memang lebih bagus pelayanannya di banding milik pemerintah? Kalau lebih mahal ya barangkali. Tentunya ini memerlukan kajian tersendiri.
Sebagaimana dikatakan oleh Max Weber, pakar administrasi negera dari Jerman, bahwa peranan pemerintah dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama dari perspektif mekanik, dimana pemerintah mamainkan peran sebagai legislator dan administrator. Semua memahami bahwa pemerintahlah satu-satunya pemegang otoritas untuk memberikan legislasi atau membuat peraturan. Dapat dikatakan juga bahwa perspektif tersebut erat kaitannya dengan birokrasi. Kedua adalah perspektif organik, pemerintah mempunyai peran sebagai penyedia layanan publik. Peran ini tidak terpaku pada birokrasi yang kaku tapi harus lebih dinamis sesuai dengan tuntutan masyarakat dan dapat ditransformasikan ke lembaga yang otonom. Sebagai contoh layanan pendidikan, layanan kesehatan, atau pembinaan olah raga dapat dilakukan instansi pemerintah atau non pemerintah. Sementara fungsi yang tidak boleh ditransformasikan ke lembaga otonom seperti Legislasi, Pengaturan, Penetapan kebijakan pelayanan, Penganggaran, Peradilan, Penindakan, dan Pertanggungjawaban.
Lahirnya paket undang-undang bidang keuangan negara yang terdiri dari UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara telah menandai era baru pengelolaan keuangan negara. Salah satu perubahan yang diamanatkan dalam paket undang-undang tersebut adalah pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (PK BLU). Maka dengan adanya paket undang-undang di atas diharapkan dapat mereduksi hambatan-hambatan yang dikeluhkan masyarakat khususnya pelayanan publik oleh instansi pemerintah. Paket undang-undang tersebut merupakan tanggapan positif pemerintah terhadap banyaknya tuntutan dari berbagai instansi yang selama ini berperan menyediakan semi barang dan /atau jasa publik seperti rumah sakit ,perguruan tinggi negeri dan yang lainnya untuk menjadi lembaga otonom. Semangat yang diusung dalam paket undang-undang di atas adalah perubahan paradigma dalam sistem penganggaran yang semula menganut sistem tradisional menjadi sistem penganggaran berbasis kinerja. Pemerintah dalam menggunakan dana tidak lagi berorientasi pada input tetapi pada output. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau sumber daya pemerintah semakin terbatas namun kebutuhan dana semakin tinggi. Dengan paradigma baru ini diharapkan dengan keterbatasan ini, pemerintah masih mampu memenuhi kebutuhan dana yang makin tinggi. Mau tidak mau penganggaran berbasis kinerja hasrus diterapkan karena dalam praktik pemerintahan modern diberbagai negara telah malaksanakannya.
Undang-undang N0.1/2004 merespon tuntutan akan peningkatan kualitas layanan publik. Instansi pemerintah yang memiliki fungsi dan tugas pokok menyediakan jasa/barang kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dan tentunya harus lebih menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektifitas atau pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum. Sebagaimana dijabarkan dalam PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dinyatakan bahwa BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas. Harapan pemerintah, hendaknya tuntutan otonom tidak didasarkan pada semangat komersial belaka. Diharapkan, otonomi yang diberikan kepada instansi-instansi tersebut bisa mendongkrak mutu pelayanan mereka yang lebih baik. Berbeda dengan konsep BUMN/BUMND, kekayaan BLU merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan. Pendapatan yag diperoleh BLU sehubungan degan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah. Konsep ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan negara dan mendorong perbaikan kinerja pelayanan publik.
Dalam melaksanakan fungsi dan tugas pokok tersebut di atas, rumah sakit dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa layanan yang diberikan. Imbalan tersebut merupakan pendapatan dari rumah sakit (sebagai saker BLU) berkenaan. Selama ini banyak rumah sakit yang beralasan kendala birokrasi dalam pengelolaan keuangannya sehinga memberikan pelayanan kurang optimal kepada masyarakat, maka dengan berubahnya status menjadi rumah sakit yang menerapkan pengelolaan keuangan BLU tidak ada alasan lagi untuk tidak memberikan layanan optimal. Kalau sebelumnya semua pendapatan yang diperolah rumah sakit bersangkutan harus disetor terlebih dulu ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sesuai mekanisme APBN, maka dengan perubahan status menjadi BLU, rumah sakit tersebut dapat menggunakan secara langsung PNBP yang diperoleh. Memang cukup masuk akal, selama ini banyak rumah sakit yang kurang baik kulitas layanannya karena mereka terganjal birokasi untuk bergerak. Pendapatan yang mereka seluruhnya harus disetor ke kas negara. Sementara itu untuk menggunakannya membutuhkan prosedur yang cukup panjang serta memakan waktu lama. Kondisi ini tentu sangat mengganggu kinerja instansi seperti rumah sakit yang sering harus bergerak cepat dan tepat yang memertaruhkan nyawa pasien. Dengan koridor baru ini rumah sakit diharapkan akan lebih cepat dalam menangani pasien karena pembelian obat lebih mudah. Tidak ada lagi alasan lagi bagi rumah sakit karena persediaan obat habis kemudian pasien terlantar.
Sekali lagi rumah sakit hanya sebagai salah satu contoh sebagai instansi yang memilki potensi dikelola ala bisnis karena memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan. Sehingga dengan memberikan fleksibilitas keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan kualitas layanan pada masyarakat. Rumah sakit dapat menyediakan jenis layanan ”VIP” bagi pasien yang berkantong tebal. Selanjutnya keuntungan dari jenis layanan tersebut dapat menjadi subsidi bagi pasien kurang mampu. Mungkin tidak akan terdengar lagi pasien dari keluarga miskin ditolak untuk berobat ke rumah sakit. Fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU memungkinkan menuju arah tersebut. Wallahua’lam.

Tuesday, June 8, 2010

Negotiation and Mediation are alternative way to resolve a conflict

Conflict in social life represents a fact. The level of conflict’s escalation is different each other. Various techniques are used to resolve conflicts which it depend on intensity of generated impact. Many kinds of conflict that happened in Indonesia are in general, such as vertical conflict: government versus citizen, labour versus employer; and horizontal conflict: intertribal, interfaith, between society etc. The background of these conflicts can be economic, politics, power, and other importance. Moreover cause of conflict is very complex and is not single character, its background and dimension. Hence, it is required comprehensive approach and handling from various bands so that grow on its problems can overcome completely and fair.
However, a relation, in harmonious condition, sometime faces dispute that is quite difficult to be avoided. The core of dispute is conflict, which can happen every moment, either through group and also individual. In the end, it can be a problem which is organized to be a dispute. Therefore, negotiation’s ability in social life is a skill that is very important to be handed by actors. Negotiation is a process started when one party assume that other party have different view, attitude, ascription to things representing caring of other party (Syamsuddin 2004).

Sunday, June 6, 2010

Present policies and future targets

The international community who through the Rio Declaration and Agenda 21 has tried to reach on a set of principles and actions needed to move the world in more sustainable direction. There are several environmental problems on the world. First of all, particular habitats or ecosystems have generally received less attention. Stratospheric ozone loss and global climate change are two other complex global environmental problems on which the international community has taken action. The Kyoto Protocol in 1987 is an encouraging example of collective international action deal with a global environmental problem of great significance. Most industrialized countries agree to reduce their collective greenhouse gas emissions by five percent on 1990 level. Unfortunately, this international action has not been nearly so effective.

Australia has developed many valuable and important environmental strategies and programs. The Department of Agriculture, Fisheries, and Forestry, for example, has responsibility for a number of important initiatives such as Land care. Many kinds of policy initiatives are significant, strongly to be supported and significantly to be praised. Many program s also have made a genuine difference. There are several reasons why current policies will not achieve ecological sustainability. First, existing policies do not deal comprehensively with the identified problems. One basic task is to deal with the specific problems related to settlements, atmosphere, biodiversity, land, inland waters and estuaries and seas. Second, many programs are inadequately resourced and implemented. Third, Australia does not have an effective legislative or administrative base. Furthermore, existing policies have not seriously begun to tackle the reduction of pressures on the environment. There is very little strategic commitment at policies. In addition, Australia has no systematic monitoring program to provide the feedback needed to asses whether programs are really working and to ensure that they are refashioned and reorganized where it is necessary. Finally, there have been very few unambiguous successes in reversing adverse environmental trends. A distinction needs to be made between the quality of the policy initiatives, the degree to which they are being actively implemented and the degree to which they are achieving real success.

There are two ways to get it. One is to evaluate, build on and improve existing programs. A comprehensive assessment of past success and failures is a key task for the future. Building on successes of any kind should remain a kernel of future environmental policy. The other is to recast the whole strategic direction of environmental degradation. The government, as policy maker, needs to have a policy goal, to set targets for the achievement the goal, to have a suite of measures, and to have very good feedback loops. It is argued by expert that setting stretch goals is a device that major corporations are using with considerable success to improve both environmental and business performance.

There are four main reasons why public policy targets are needed for all the key dimensions of degradation in Australia. First, the setting of targets will force concentrated attention on all the issues that need to be dealt with and on the actions needed to meet the targets. Second, a comprehensive list of medium-term targets will give both specialists, such as the scientific community. Third, setting targets enables state of the environment reporting and monitoring to be carried out with real purpose. Fourth, setting targets and then asking the whole society to focus attention and generating real creativity in finding solutions. Targets also need constant review to ensure that they are purposefully related to the goals embodied in the principles.

One approach to futures thinking to futures thinking, which is parallel arguments have developed in recent years from futures thinking, is to generate scenarios about the future. Scenarios are especially valuable for the exploration of multifaceted futures, that is for the exploration of the way different goals and objectives can be considered at the one time. However, scenarios have their limitations. First, all scenarios depend upon a set of basic assumptions. Second, only a limited number out of a multiplicity of alternatives can reasonably be examined. Third, scenarios are not in themselves plans of action. Another approach is to consider and compare alternative futures.