Tuesday, June 22, 2010

Pedagang Kaki Lima dalam Program Pembangunan Perkotaan

Pendahuluan
Pembangunan merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas kehidupan bangsa secara bertahap. Pembangunan dapat juga diartikan sebagai suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat suatu bangsa. Ini berarti bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari suatu keadaan atau kondisi kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehidupan yang lebih baikdalam rangka mencapai tujuan nasional suatu bangsa (Tjokroamidjojo & Mustopadidjaya, 1988; Siagian, 1985).
Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa perubahan di sektor pembangunan ekonomi. Sejarah telah mencatat pertumbuhan ekonomi yang pesat secara terus menerus selama lebih-kurang 32 tahun di masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kemajuan telah dicapai dengan metode pembangunan nasional yang lebih menitik beratkan pada tujuan pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi pada skala makro dan mikro. Peningkatan pendapatan per kapita , penurunan jumlah kemiskinan, jumlah pengangguran dan perbaikan kualitas hidup manusia secara rata-rata telah berhasil dicapai pada masa itu. Tanpa disadari pemerintah kita telah melakukan pembangunan yang rapuh, atau tanpa pondasi yang kuat. Proses percepatan pembangunan yang terlalu menitik-beratkan pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dimbangi dengan pemerataan pendapatan untuk membangun ekonomi rakyat, maka misi pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat terabaikan sehingga basis ekonomi rakyat (nasional) mengalami kegoncangan bahkan rapuh.
Kerapuhan basis ekonomi rakyat mulai nampak pada saat bangsa Indonesia memasuki era tinggal landas yang ditandai dengan munculnya krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 telah menjadi krisis multidimensional dan telah menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Kondisi ini telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bangsa Indonesia. Krisis multidimensional ini turut meningkatkan jumlah penduduk miskin di Negara Indonesia tercinta ini. Pembangunan nasional yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi selama ini ternyata kurang mampu untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan-permasalahan pembangunan nasional yang berskala multidimensional. Krisis ini sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulai dengan memasuki Era Reformasi.
Dampak ekonomi dan moneter yang nyata adalah terjadinya kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riil yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran dari perusahan-perusahan swasta nasional. Hal ini berujung pada munculnya pengangguran di kota-kota besar. Beberapa sumber mengklaim bahwa jumlah pengangguran bertambah berlipat-lipat dalam waktu yang demikian cepat. Akhirnya mereka yang telah kehilangan pekerjaan ini melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal. Salah satu sektor informal yang banyak diminati para pengangguran (selain yang sudah lama bekerja di sektor ini) yaitu pedagang kaki lima (PKL). Kelompok PKL sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tak terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Pedagang Kaki Lima ini timbul juga dari adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata di Indonesia. PKL ini juga timbul dari akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab didalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Jadi sangat wajar sekali fenomena PKL ini merupakan imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia . Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanyanya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus berdagang di kaki lima. Mengapa pilihannya adalah pedagang kaki lima? Karena pekerjaan ini sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu modalnya tidak besar, tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, dan mudah untuk di kerjakan. Fakta lain bahwa tumbuhnya sektor informal karena kondisi sektor riil Indonesia yang tidak kondusif sehingga menyebabkan banyak pabrik yang tutup dan menimbulkan pengangguran.
Timbulnya pedagang kaki lima ini juga tidak terlepas dari empat dimensi yang disampaikan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) yaitu dimensi politik, kemiskinan timbul karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengakses sumberdaya, termasuk akses informasi. Masyarakat tidak memiliki wadah organisasi yang dapat dijadikan sarana memperjuangkan aspirasinya, sehingga mereka tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Dari sudut dimensi sosial diyakini bahwa masyarakat miskin sering tidak terintegrasi dalam institusi sosial yang ada, sehingga menimbulkan rendahnya kualitas manusia dan etos kerja mereka. Dari dimensi ekonomi, kemiskinan timbul karena rendahnya penghasilan sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka secara layak. Dari dimensi aset, kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari rendahnya kepemilikan atas sumberdaya, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia, peralatan kerja, modal, dan sebagainya (Depkimpraswil, 2002).

Posisi Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima (PKL) sendiri memiliki banyak makna, ada yang mengatakan term “pedagang kaki lima” berasal dari orang yang berjualan dengan menggelar barang dagangannya dengan bangku/meja yang berkaki empat kemudian jika ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya maka menjadi berkaki lima sehingga timbullah julukan pedagang kaki lima. Tak hanya itu saja, ada juga yang memaknai PKL sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan yang lebarnya lima kaki (5feet ) dari trotoar atau tepi jalan. Ada pula yang memaknai PKL dengan orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dan dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian. Tapi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan
Pedagang kaki lima sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Sejalan dengan uraian di atas, dalam penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha kecil (termasuk pedagang kaki lima) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperanan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Pedagang kaki lima ini ribuan jumlahnya. Bahkan mungkin jika dihitung keseluruhan jumlah PKL ditambah buruh tani dan kuli kasar bisa jadi ratusan ribu. Supplier maupun costumer mereka tentu bukanlah perusahaan raksasa, melainkan sesama orang-orang kecil. Jika dihitung lagi dengan banyaknya warung-warung dan toko-toko kecil, baik yang menjual makanan ataupun barang kelontong, dan dihitung dengan orang-orang yang tergantung kepadanya, bisa menjadi puluhan juta. Merekalah, yang secara de facto menyokong kehidupan sejumlah besar rakyat Indonesia di tengah prahara ekonomi. Pertanyaannya adalah: jika memang demikian kenyataannya, mengapa kelas kaki lima ini masih termasuk kelas yang terpinggirkan? Bahkan, sudah menjadi berita sehari-hari bahwa mereka adalah pengganggu ketertiban yang harus segera digusur. Para pemilik toko-toko dan warung-warung kecil, para juragan kelas teri yang menjalankan usahanya selama bertahun-tahun dengan kerja keras, kini harus menghadapi jaringan retail yang dilengkapi dengan manajemen dan sistem logistik yang bisa menurunkan harga serendah-rendahnya. Barangkali jawabannya bisa dilihat dari ketimpangan akses baik modal, pasar, maupun informasi yang didapatkan oleh pemain dalam segmen kaki lima, buruh, dan usaha kecil ini. Kekurangpercayaan dari perbankan, konsumen, supplier, bahkan dari pemerintah sendiri terlihat jelas di sini. Kelemahan penegakan hukum sebenarnya sangat merugikan semua pemain ekonomi termasuk kelas kaki lima ini karena menghancurkan kepercayaan.
Lepas dari beberapa keunggulan yang dimiliki kelompok usaha kecil, khususnya pedagang kaki lima sebagaimana dikemukakan di atas, banyak pula kekuarangannya. Maraknya PKL di wilayah kota-kota di Indonesia berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan di sekitar PKL berada. Lokasi berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara motor/mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya kebersihan sehingga keindahan di lingkunganpun sulit diwujudkan. Mutu barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya tidak merugikan konsumen.
Pemerataan program pembangunan
Berpijak dari kenyataan bahwa keberadaan pedagang kaki lima atau sektor informal yang masih kurang mendapat perhatian semestinya, satu hal yang pasti masyarakat miskin harus ditolong. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 secara ekplisit mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Karena itu, pemberian pelayanan sosial dasar kepada masyarakat miskin perlu mendapatkan perhatian yang serius, dan perlu didukung keterlibatan aktif para stakeholder di tiap daerah serta pemerintah pusat. Upaya penanggulangan kemiskinan, menurut Kasryno dan Suryana (1996), dilakukan melalui peningkatan pendapatan dan penciptaan kesempatan kerja produktif yang mampu meningkatkan produktivitas kerja dan sumberdaya. Inti strategi program penanggulangan kemiskinan adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penggunaan sumberdaya secara optimal. Lebih lanjut Kasryno dan Suryana (1996) menjelaskan, untuk mencapai kelompok masyarakat miskin secara lebih efektif, program-program tersebut pada intinya adalah: (1) memberikan asesibilitas yang lebih tinggi terhadap sumberdaya produksi dan paket teknologi yang lebih tepat; (2) merangsang terciptanya kegiatan yang menghasilkan pendapatan di lokasi setempat; dan (3) meningkatkan efektivitas dan keterjangkauan kredit pedesaan.
Menurut Hikmat (2001), tujuan akhir strategi pembangunan sosial adalah memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi dan harapan individu dan kolektif yang berpijak dalam konsep tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku. Tujuan objektif dalam strategi pembangunan sosial adalah memberantas kemiskinan absolut, realisasi keadilan yang distributif, dan peningkatan pertisipasi masyarakat secara nyata. Dengan demikian penanggulangan masalah kemiskinan ini pada dasarnya lebih kepada pemecahan permasalahan sosial daripada ekonomi (Pakpahan dalam Sajogyo, 1996). Sebagai permasalahan sosial, penanggulangan terhadap kemiskinan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama dari para pelaku ekonomi swasta dan kelompok sasaran masyarakat miskin. Program pengentasan kemiskinan akan efektif jika disusun dan dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat sendiri. Pemerintah, swasta serta pihak lainnya bisa memberikan arahan dan dukungan, namun yang lebih penting adalah menciptakan iklim usaha yang mendukung (Sumodiningrat, 1998). Salah satu upaya membangkitkan peran serta masyarakat dalam berbagai progam pembangunan adalah dengan pendekatan kelompok. baik kelompok yang sudah ada dalam masyarakat maupun membentuk kelompok baru. Dengan pendekatan kelompok akan terjadi komunikasi yang efektif antara penyelenggara program dengan masyarakat sebagai anggota kelompok sasaran, sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai (Ismawan, 1993).
Pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan pendekatan kelompok mempunyai kelebihan dibandingkan dengan perorangan. Pendekatan kelompok menurut Vitayala (1986), mempercepat proses adopsi atau alih teknologi, hal ini disebabkan adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu kelompok dapat berfungsi sebagai media informasi dan pelayanan yang efektif dalam memenuhi kebutuhan kelompok maupun anggotanya ( Suyatna, 1982). Sebagai sebuah konsep pembangunan – pemberdayaan masyarakat harus diaplikasikan dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan ini sendiri harus ditujukan pada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat maju dan modern serta masyarakat tradisional yang tertinggal.
Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Dimata pemerintah citra negatif tersebut telah mendogma. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus besikap arif dalam menentukan kebijakan. Permasalahan PKL menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dillema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economiy.
Karenanya prioritas pemerintah seharusnya mengucurkan segala investasi dan konsentrasi untuk memulihkan kepercayaan oleh dan kepada para pelaku pasar termasuk kelas kaki lima ini. Bukan hanya untuk kelas kapitalis besar – yang walaupun tentu saja berhak untuk ikut bermain dalam perekonomian nasional – tetapi juga untuk pemain lain. Pungli, “uang keamanan”, kebiasaan mencari backing aparat, tawar menawar dengan petugas pajak, dan lain-lain tindakan yang menghancurkan kepercayaan harus segera dihancurkan. Caranya antara lain dengan mengevaluasi secara radikal mekanisme perencanaan dan pemberian izin kepada para pelaku ekonomi kecil. Sebuah kota harus memiliki tempat-tempat khusus di mana pedagang kaki lima dan pedagang kecil bisa melakukan usaha, sama persis dengan bagaimana tempat untuk mall dan pasar swalayan serta layanan retail diberikan oleh pemerintah. Kredit mikro yang dikucurkan oleh perbankan harus diperbanyak dengan meningkatkan kepercayaan dalam masyarakat yang telah disebutkan di atas. Untuk melakukan itu pemerintah harus menyediakan investasi yang cukup besar.
Sesungguhnya para pedagang kaki lima dan masyarakat termarjinalkan lainnya seperti kaum buruh kasar, abang bakso dan abang becak, dan tukang gali jalan sekalipun adalah juga stakeholder dari kontrak sosial Negara Republik Indonesia. Ketika mereka diberi kepercayaan bahwa Negara telah melakukan sesuatu kepada kehidupan mereka, mereka akan memberikan juga kepercayaan kepada Negara. Mereka juga akan membayar pajak atau retribusi kepada negara sebagai ganti dari uang kontribusi gelap yang harus dibayarkan ke preman ataupun petugas (yang nyata tapi tidak dapat dibuktikan itu), maka negara atau pemerintah daerah mendapat potensi pemasukan yang lebih tinggi. Bebas pungli dan aparat yang terjamin jujur adalah kunci keberhasilannya. Pedagang kaki lima dan kecil harus memiliki ambisi untuk menjadi besar. Kemungkinan untuk menjadi besar harus didukung pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan sama dengan bagaimana pemerintah memberikan berbagai kemudahan untuk masuknya investasi asing ke Indonesia yang sebagian besar hanya menguntungkan investor-investor besar. Usaha para pemodal besar ini ditopang oleh usaha menengah dan usaha menengah ditopang oleh usaha kecil. Penciptaan lapangan kerja tidak boleh semata-mata dilakukan dengan memasukkan sebanyak-banyaknya investasi asing, karena tentu saja pihak asing tidak berkepentingan terhadap peningkatan usaha dan kesejahteraan kalangan kecil. Investasi asing tentu sangat disambut, akan tetapi struktur ekonomi yang kuat di mana usaha besar, menengah, dan kecil saling berkaitan, harus menjadi modal utama pembangunan kemakmuran bangsa.

Kota untuk Kaki Lima
Kota sebagai tempat hidup manusia hendaknya merupakan suatu lingkungan yang sesuai dengan hakekat manusia itu sendiri. Dengan keinginan untuk dapat menyertakan masyarakat dalam menciptakan suasana Kaki Lima yang menyenangkan. Bukan sekedar menjadi tempat yang hanya berisi benda mati dan hasil teknologi pembangunan saja. Harus kita simak dengan seksama, bahwa kegiatan manusia pada pedagang Kaki Lima hendaknya dipandang sebagai bagian dari rangkaian kehidupan kota yang tumbuh secara alamiah. Oleh karena itu, kehadirannya perlu diberi tempat sebagai salah satu unsur kota secara keseluruhan. Kaki Lima mempunyai fungsi sebagai tempat terjadinya kehidupan yang mempunyai nilai ekonomis serta mempunyai fungsi sosial dapat merupakan salah satu media bagi pembentukan suasana kehidupan kota secara hakiki. Sebagai unsur yang menempati kota, Kaki Lima perlu adanya bimbingan agar kadar manusiawinya tinggi serta mampu menjadikan suasana keindahan tersendiri. Akhirnya, pemerintah kota, penentu kebijakan maupun masyarakat kota, perlu melihat kembali ke belakang dengan satu sentuhan langkah baru di dalam menentukan penataan kotanya, maupun pengelolan ekonomi sosial warganya agar dapat tercipta sebuah kota yang mempunyai wajah dan menjadi milik kita semua.
Strategi pengembangan perkotaan bermasalah karena dilepaskan begitu saja kepada mekanisme pasar bebas yang berideologi neoliberalis. Padahal, pasar hanya berorientasi pada kepentingan kelompok kuat, terutama pemilik modal dan investor, sedangkan hajat bersama seluruh warga malah terabaikan. Akibatnya, kota tumbuh secara instan, tidak rasional, dan tak memiliki visi dalam menghadapi globalisasi. Kebijakan pengembangan kota nyaris dikungkungi kepentingan elite semata, yaitu pemerintah dan pemodal. Dan warga tidak pernah dilibatkan untuk menentukan apa, di mana, kapan, dan untuk apa fasilitas dibangun di kota itu. Warga pun tercecer, kota kehilangan partisipasi mereka, dan terancam ditinggalkan penduduk yang berkualitas. Contoh konkret kebijakan yang tidak menenggang warga adalah kota tidak berniat menyediakan ruang publik bagi warga. Setiap ruang diperebutkan antarkelompok. Padahal, konsep kota modern memperkenalkan ruang privat dan ruang publik, yang merupakan milik bersama yang penggunaannya ditentukan secara bersama. Ruang publik yang terbuka menjadi sarana untuk menyemai tenggang rasa, toleransi, serta menghidupkan sisi keberadaban manusia.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL), yang istilah kerennya street hawker atau street trader, tak ubahnya seperti sekeping mata uang yang memiliki dua sisi. Jika tidak ditangani dengan baik, PKL kerap menjadi masalah di tengah kehidupan urban. Kemacetan dan kekumuhan menjadi dua penanda keberadaan mereka. Namun, jika diberdayakan dengan optimal, PKL justru mampu menggairahkan ekonomi sebuah kota. Pasalnya, PKL merupakan aset kota. Bahkan, bukan tidak mungkin, PKL menjadi ikon dan daya tarik sebuah kota. Itu bisa didapat jika landasan konsep penanganan yang diterapkan pemerintah tak melulu penertiban, tetapi juga pemberdayaan. PKL, bangunan tanpa izin, izin gangguan (HO), reklame, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, kini telah menjadi fenomena sosial di setiap kota besar. Bahkan, realitas tersebut dapat dikatakan sebagai artefak kota yang tercipta untuk mengisi ruang-ruang "kosong" yang ada. Maka, terasa aneh dan janggal jika kota tidak menyediakan ikon-ikon budaya yang direpresentasikan dalam fenomena perkotaan ini. Menurut beberapa pakar sosial, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global. Menurut dia, kapitalisme telah menjadikan negara ketiga sebagai medan pasar yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang marketable. Berdirinya pusat perbelanjaan-salah satunya-merupakan upaya menyedot pasar yang dimiliki oleh pedagang lokal. Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya, yang pada akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki oleh kaum pinggiran. Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini mengakibatkan ekonomi masyarakat kota linier dan stabil.
Selain itu, seperti kritik Karl Marx, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru perkotaan. Dari situsai kemiskinan ini muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota. Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran) menjadi konsekuensi logisnya.
Seorang pakar tata kota dari ITS Surabaya menyatakan bahwa penanganan dan pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan baik dan benar akan dapat memecahkan 10 persen permasalahan kemiskinan di perkotaan. Persoalannya hingga kini dikotomi tentang PKL dengan Pemerintah Kota (Pemkot) untuk mencari titik temu agar penanganan dan pengelolaan PKL berjalan baik masih saja terjadi. Apa pun yang akan dilakukan oleh Pemkot untuk mencari jalan keluar terbaik dalam menata PKL tidak akan bisa berjalan sempurna manakala dikotomi tentang PKL masih terjadi. Harusnya Pemkot mau mengubah paradigma tentang PKL yang selama ini dianggap membuat kumuh dan sulit diatur. Saatnya pandangan itu diubah, PKL itu merupakan potensi kota yang harus dikembangkan secara bersama-sama, tidak perlu diperangi demikian juga PKL tidak perlu melawan atau memerangi Pemkot. Perlunya memperhatikan faktor budaya didalam menata PKL. Ada budaya malas di masyarakat kita yang menyebabkan persoalan PKL menjadi berlarut-larut, tidak bertemu jalan keluar. Budaya malas itu bukan hanya pada PKL yang enggan memelihara ketertiban dan kebersihan di lokasi mereka tapi juga para birokrasi yang juga malas, tidak mau memberi peringatan atau melakukan tindakan ketika sebuah lokasi masih dihuni oleh satu-dua PKL. Kalau sudah banyak dan mengundang masalah baru ditindak. Faktanya di masyarakat muncul berbagai jenis dan model kewirausahawan dan wirausahwan. Untuk wirausahawan bermodal kecil, sebagian besar timbul bukan karena fasilitas pemerintah, melainkan wirausahawan sejati. Fenomena suku Madura di Kalimantan, suku Bugis di Irian Jaya, suku Minangkabau di seluruh daerah Nusantara. Dalam pemberdayaan penanganan PKL, tentu dilakukan secara konprehensip, dengan memperhatikan secara menyeluruh lingkup persoalan dihadapi PKL. Seperti tempat usaha untuk menciptakan iklim usaha kompetitif dan ketenangan berusaha, permodalan, pembinaan dan pengembangan manajemen usaha, pendidikan dan pelatihan, advokasi social dan sebagainya
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Praktik perencanaan kota di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia, menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang tidak mewadahi sektor informal.Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Alokasi ruang untuk sektor-sektor informal, termasuk PKL, adalah ruang marjinal. Sektor informal terpinggirkan dalam rencana tata ruang kota yang tidak didasari pemahaman informalitas perkotaan.

Penutup
Usaha kecil di samping dari segi jumlahnya yang banyak, tingkat pendidikannya pun relatif rendah. Sebagian besar (90,6%) para pengusaha kecil berpendidikan SD, 9,3% sampai tamat SMA dan hanya 0,1% berpendidikan Perguruan Tinggi., Rendahnya kualitas pendidikan para pengusaha kecil ini berakibat pada adanya beberapa permasalahan yang dihadapi usaha kecil dalam menjalankan usahanya. Sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah memaikan peran sebagai pelaku shadow economy. Nasib PKL perlu diberdayakan guna memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah wujud kreatifitas masyarakat yang kurang mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan arahan pada mereka, sehingga PKL dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat yang lainnya. Melalui peraturan daerah yang jelas dan akuntabel maka permasalahan sosial seperti PKL dapat dihindarkan. Dengan adanya ruang partisipasi yang dibuka seluas-luasnya dan dengan adanya hubungan dialogis yang baik antara pemerintah-masyarakat-dan sektor swasta, maka akan menimbulkan sinergi yang baik dalam menghasilkan ataupun melaksanakan sebuah kebijakan publik. Tidak terkecuali dalam menyelesaikan permasalahan pedagang kaki lima.

No comments:

Post a Comment